Makalah Filsafat Dakwah



EPISTEMOLOGI ILMU DAKWAH
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah Filsafat Dakwah
Dosen Pengampu Drs. Kasmuri, M. Ag
Description: Logo 3D UIN Walisongo.png
Disusun oleh:
Alfiana Safitri             (1401016074)
Melinda Dwi Rahayu  (1401016075)
Hesti Nurjanah            (1401016071)
Iswatun Khasanah      (1401016124)

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SEMARANG
2016

I.                   PENDAHULUAN  

Sebelum membahas pengertian epistemology dakwah, terlebih dahaulu akan diuraikan pengertian ilmu dakwah. Djalaludddin Rachmat member batasan ilmu dakwah sebagai ilmu yang mempelajari proses penerimaan, pengolahan, dan penyampaian ajaran islam untuk mengubah perilaku individu, kelompok, dan masyarakat sesuai dengan ajaran agama islam. Dakwah pada mulanya dipahami sebagai perintah Allah yang tertuang dalam al-Qur’an. Bagi setiap muslim yang taat kepada Allah, maka perintah berdakwah itu wajib dilaksanakan. Ketika dakwah dilaksanakan dengan baik, lalu disadari bahwa dakwah itu merupakan suatu kebutuhan hidup manusia. Dan ketika dakwah disadari sebagai suatu kebutuhan hidup, maka dakwah pun menjadi suatu aktivitas setiap muslim kapan pun dan dimana pun mereka berada.   Kemudian aktivitas dakwah pun berkembang dalam berbagai situasi dan kondisi dengan berbagai dinamikanya. Dalam perkembangan terakhir di Indonesia, khususnya dalam lingkungan perguruan tinggi agama Islam, dakwah berkembang sebagai satu disiplin ilmu dan kedudukannya disejajarkan dengan disiplinlmu Islam lainnya, seperti Filsafat,Tasawuf, Hadits dan disiplin ilmu lainnya.
II.                RUMUSAN  MASALAH
A.    Apakah yang dimaksud dengan Epistemologi Dakwah?
B.     Apa Saja model-model Epistemologi Islam?
C.     Apa yang dimaksud dengan hakikat dakwah, dan apa tujuan berdakwah?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Epistemologi Dakwah
Dakwah secara bahasa, berasal dari padanan kata da’a- yuda’i- du’a’an wa da’watan. Dalam al-Qur’an istilah dakwah disebutkan kurang lebih sebanyak sepuluh kali dengan berbagai arti yang berbeda yaitu: ajakan, seruan, pembuktian dan do’a. Dalam makna sempit, dakwah berarti tugas untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran agama Islam agar nilai-nilai Islam terwujud dalam kehidupan manusia dan mengajak manusia kepada jalan yang diridhoi Allah.
Epistemologi dakwah adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Pada dasarnya epistemologi adalah bahasa Yunani dan berasal dari dua kata yaitu, episteme yang berarti pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan logos yang berarti teori, informasi. Dengan demikian, epistimologi dakwah dapat dirumuskan sebagai: usaha seseorang untuk menelaah masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subjek bahasa (titik tolak berpikir).[1]Dari dua pengertian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa Epistemologi Dakwah adalah kajian filosofis terhadap sumber, metode, esensi, dan validitas (kebenaran ilmu) dakwah.
Sumber menjelaskan asal-usul ilmu dakwah, sedangkan metode menguraikan bagaimana cara memperoleh ilmu tersebut dari sumbernya, dan validitas dakwah adalah pengetahuan yang diperoleh dari sumbernya melalui metode ilmiah, dan belum bisa disebut sebagai ilmu apabila belum terujI secara ilmiah atau tidak memiliki validitas ilmiah. Dalam menguji keilmuan ada dua teori yang dapat digunakan untuk menguji validitas suatu disiplin ilmu, yaitu teori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi menyebutkan bahwa kebenaran ditegakkan atas hubungan keputusan baru dengan keputusan-keputusan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu. Suatu proposisi dikatakan benar jika ia berhubungan dengan keberanian yang telah ada dalam pengalaman manusia.[2] Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran atau keadaan benar itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau fakta-faktanya.

B.     Model-model Epistemologi Dakwah
Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni: bayani, irfani, dan burhani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang pengetahuan.
§  Epistemologi Bayani
Adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks(nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
§  Epistemologi Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayan, tetapi pada kasyf, terungkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Oleh karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setdaknya diperoleh melalui tiga tahapan.
1.      Tahap persiapan
2.      Tahap penerimaan
3.      Tahap pengungkapan, dengan lisan atau tulisan
§  Epistemologi Burhani
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani mendasarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
 Perbedaan ketiga epistemologi Islam ini adalah bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu’ dan pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan (intuisi); burhani menghasilkan pengetahuan lewat prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya (rasio). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Pada kenyataannya, pemikiran Islam pada saat ini masih banyak yang didominasi oleh pemikiran bayani fiqhiyah yang kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Dan burhani tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Misalnya burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa, atau bayangan.
Jadi ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah pemahaman. Maksudnya ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing. Sehingga terciptalah Islam yang “Shalih li Kulli Zaman wa Makan”, Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban.[3]
C.     Hakikat dan Tujuan Dakwah
1.      Hakikat Dakwah
Merujuk pada makna yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Nahl (16:125) yang berbunyi
ادع الي سبيل ربك با لحكمة والموعظة الحسنةصالي وجد لهم بالتي هي احسنج ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيلهصلي وهو اعلم با لمهتدين 125
Artinya : “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dakwah Islam dapat dirumuskan sebagai kewajiban muslim mukallaf untuk mengajak, menyeru dan memanggil orang yang berakal menjalani jalan Tuhan (dinul Islam) dengan cara hikmah, mauidhoh hasanah (motivasi positif), dan mujadalah yang ahsan (cara yang metodologis) dengan respon positif atau negatif dari orang yang berakal yang diajak, di sepanjang jalan dan sepanjang ruang. Hakikat dakwah Islam tersebut adalah perilaku keislaman muslim yang melibatkan unsur da’i, maudhu’atau pesan, wasilah atau media, uslub atau metode, mad’u dan respon serta situasi dan kondisi.[4]
2.      Tujuan Dakwah
Dakwah adalah kewajiban bagi setiap umat Islam, untuk saling mengingatkan dan mengajak sesamanya dalam rangka menegakkan kebenaran (konteks iman/ teologis) dan kesabaran (konteks amal/sosiologis) dalam al-Qur’an surat al-Ashr ayat 3 yang berbunyi :
الا الدين امنوا وعملواالصالحات وتواصوا بالحق وتوا صوا با لصبر 3
Artinya : kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.
Oleh karena itu, mengapa umat Islam selanjutnya disebut sebagai warotsatul anbiya’ (pewaris para nabi). Nabi yang berasal dari kata naba-a yang bermakna penebar risalah Tuhan (kebenaran). Tujuan dakwah bukan untuk memaksakan kehendak , mengislamkan yang lain, maupun untuk mempersatukan umat manusia, apalagi untuk memperbanyak pengikut. Jika dakwah berarti demikian, niscaya Nabi Nuh a.s yang diberi usia hingga 950 tahun dalam menggencarkan risalah dakwahnya tidak layak diberi penghargaan. Sebab, dalam kurun waktu yang sangat panjang itu beliau hanya mampu mengajak manusia seisi penumpang kapal laut. Akan tetapi, pada kenyataannya beliau tetap dianggap orang istimewa oleh Allah SWT.
Islam atau tidaknya seseorang bukanlah kepentingan Allah SWT. Konsekuensi dakwah bisa diterima atau ditolak. Urusan beiman atau tidaknya seseorang itu urusan Allah SWT. Kita tidak dibebani oleh Allah SWT untuk memaksa apalagi mengimankan seluruh manusia. Tugas kita hanyalah menyampaikan dan menjadi bukti kedamaian bagi yang lain. Melalui Islam Allah SWT hanya memesankan kehidupan yang damai, tentram, dan penuh kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan korelatifitas makna harfiah antara Islam dan rahmat yang berarti damai dan sejahtera.
Dakwah menurut Dr. Khalifa Husein, tidak hanya berorientasi eksternal dalam mengajak umat lain pada kebenaran Islam, tetapi lebih berarti internalisasi perbaikan dan pendewasaan diri dalam tubuh umat Islam sendiri secara spiritual, moral, dan sosial.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, tujuan dakwah adalah:
a)      Dakwah tidak bertujuan mempersatukan umat yang kenyataannya plural dan beragam.
b)      Dakwah bukanlah sebagai sarana unutk memaksakan kehendak.
c)      Dakwah bukan untuk mengislamkan seseorang maupun untuk mempersatukan umat manusia.
d)     Dakwah bukan untuk memperbanyak pengikut.[5]

IV.             KESIMPULAN
Epistemologi Dakwah adalah kajian filosofis terhadap sumber, metode, esensi, dan validitas (kebenaran ilmu) dakwah. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu dakwah, sedangkan metode menguraikan bagaimana cara memperoleh ilmu tersebut dari sumbernya, dan validitas dakwah adalah pengetahuan yang diperoleh dari sumbernya melalui metode ilmiah, dan belum bisa disebut sebagai ilmu apabila belum terujI secara ilmiah atau tidak memiliki validitas ilmiah.
Ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni: bayani, irfani, dan burhani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang pengetahuan.
1.      Epistemologi Bayani
Adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks(nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
2.      Epistemologi Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayan, tetapi pada kasyf, terungkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Oleh karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setdaknya diperoleh melalui tiga tahapan:
a)      Tahap persiapan
b)      Tahap penerimaan
c)      Tahap pengungkapan, dengan lisan atau tulisan
3.      Epistemologi Burhani
Burhani mendasarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Hakikat dakwah Islam adalah proses internalisasi (pendalaman/ penghayatan), transmisi (pemindahan), difusi (perpindahan), institusionalisasi dan transformasi dinul Islam dalam totalitas kehidupan manusia mukallaf guna mencapai tujuan hidup dunia dan akhirat. Tujuan dakwah adalah:
1.      Dakwah tidak bertujuan mempersatukan umat yang kenyataannya plural dan beragam.
2.      Dakwah bukanlah sebagai sarana unutk memaksakan kehendak.
3.      Dakwah bukan untuk mengislamkan seseorang maupun untuk mempersatukan umat manusia.
4.      Dakwah bukan untuk memperbanyak pengikut.

V.                PENUTUP
       Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masaih membutuhkan penyempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca dan pemakalah khususnya.


























DAFTAR PUSTAKA

Sulthon, Muhammad. Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta.Pustaka Pelajar. 2003, hal. 32-34
Syam, Nur. Filsafat Dakwah, Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2003. hal 26-27.
Suisyanto. Pengantar Filsafat Dakwah, Yogyakarta,Teras, hal.26


[1] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah, Yogyakarta,Teras, hal.26
[3] Nur Syam. Filsafat Dakwah, Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2003. hal 26-27.
[4] Muhammad, Sulthon. Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta.Pustaka Pelajar. 2003, hal. 28
[5] Muhammad, Sulthon. Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta.Pustaka Pelajar. 2003, hal. 32-34

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESEP SEMUR JENGKOL PALING ENAK TANPA BAU

Resep Cara Membuat Nasi Goreng